Minggu, 26 April 2009

Melodi Rintik Hujan

“Kamu ini Tania dari Jurusan Bahasa Inggris kan?” tiba-tiba seorang wanita yang memakai baju berwarna merah datang menghampiriku.

“Ya,” jawabku singkat.

Plakk!!

“Rasakan itu, dasar kucing garong!!!” makinya.

Aku cuma bengong dan wanita itu pergi begitu saja.

***

“Hahahahahaha…sesekali aku pengen deh dikatai kucing garong tapi jangan sampai aku yang bilang begitu” Sofi tertawa terbahak-bahak saat mendengar ceritaku.

Seperti biasa, sehabis jam kuliah berakhir aku selalu diam di kantin kampus bersama kedua teman baikku, Sofi dan Radit.

“Hei, yang serius dong! Aku kan nggak tahu kalau aku diduakan! Di sini, akulah korbannya!”

“Makanya pilih-pilih dong, kalau cari pacar. Sebelum pacaran, lihat dulu orangnya!” saran Sofi sambil menahan tawa.

“Sudah kok.”

“Iya, tapi cuma tampangnya aja kan?”

“Ngg…” aku cuma terdiam saat mendengar ucapan sahabatku itu dan tak bisa melawannya. Mungkin karena semua yang dia ucapkan benar adanya. Aku suka perasaan berbunga-bunga saat sedang jatuh cinta. Seperti mencicipi makanan lezat sedikit demi sedikit. Karena itu aku ingin percintaan yang ringan-ringan saja. Jadi kalaupun putus nggak akan sakit hati. Setelah menangis semalaman, esoknya aku akan mencari cinta yang baru.

Radit terdiam dan terus memandangiku.

“Apa lihat-lihat?” bentakku.

“Ah, nggak.. aku takjub sama kamu Tan. Habis kamu ini ya, kalau nggak meencuri pacar orang, pacarmu yang dicuri orang. Begitu dan begitu terus.” jawabnya sambil tertawa.

“Itu kan bukan mauku!”

“Sudah ah, aku mau pergi dulu ya,” Radit beranjak dari kursinya.

“Kemana?”

“Kerja sambilan,” jawabnya sambil berlalu.

Setelah Radit hilang dari pandangan kami berdua, Sofi menyenggol lenganku dan berbisik padaku, “Si Radit itu, apa kamu mau sia-siakan dia?”

“Maksudnya?”

“Kulihat kalian lumayan cocok juga, kok.. Sekarang ini jarang ada orang seperti dia. Kamu juga sudah tahu dari dulu kan?” ujar Sofi sambil menatapku.

“Yang benar saja, mana mungkin aku pacaran dengan dia.”

“Hei, zaman sekarang teman bisa jadi pacar lho.”

Aku terdiam dan teringat kembali saat pertemuan pertamaku dengan Radit. Saat hujan deras itu, pertemuan kami benar-benar sangat menyebalkan. Saat itu aku baru saja diputuskan pacarku, karena itu aku menangis sejadi-jadinya. Saat berjalan aku tak sengaja menabraknya dan dia pun membentakku, padahal aku sedang menangis sedih. Setelah itu, aku bertemu kembali dengannya di tempat bimbingan belajar. Ketika aku melanjutkan kuliah di sini pun, ternyata kami sekelas. Aku merasa pertemuan kami adalah takdir.

Sebenarnya sejak awal aku memang tertarik pada Radit. Tapi sekarang ini kami nggak mungkin lebih dari teman Aku merasa nyaman dengan hubungan kami yang bukan hubungan percintaan. Mungkin karena saat pertemuan pertama kami, dia melihatku dalam keadaan yang sangat memalukan. Makanya aku jadi bisa bicara seenaknya padanya dan tanpa malu-malu lagi.

“Yuk ah, kita pergi,” Sofi menarik tanganku dan kami pergi meninggalkan kampus.

***

“Sedang apa kalian di sini?” Radit terlihat kaget saat aku dan Sofi mengunjungi restoran tempat dia bekerja.

“Hari ini adalah hari peringatan putus cintaku.Jadi, traktir aku ya,” kataku dengan cuek.

“Restoran ini bisa bangkrut kalau tiap kali putus, kamu minta ditraktir,” seloroh Radit sambil berlalu.

Aku dan Sofi memilih tempat duduk di sudut, karena di sana pemandangannya lebih indah. Kami pun memesan makanan dan kembali bercakap-cakap. Setelah selesai makan, Sofi melihat jam tangannya.

“Aku pulang duluan ya.. Ada janji sama Tedi nih,” ujarnya sambil beranjak dari kursi.

“Ya udah.. hati-hati di jalannya,” aku melambaikan tangan.

Aku kembali terdiam dan menikmati pemandangan dari jendela restoran. Rasanya enggan untuk pulang ke rumah. Sampai akhirnya Radit menghampiriku,”Kamu belum pulang?”

“Eh, iya,” aku merasa kaget saat melihatnya dihadapanku.

“Ya sudah, tunggu sebentar ya..Aku ganti baju dulu, nanti aku anterin kamu pulang,” kemudian Radit pergi ke ruang ganti.

***

Radit mengantarku sampai di depan rumahku. Setelah di depan rumah, aku pun turun dari motornya. “Makasih ya Dit…”

“Iya.. cepet masuk sana, malam ini langsung tidur ya dan jangan nangis gara-gara mantan kamu itu,” ucapnya sambil mengelus kepalaku.

“ya, enggak lah.. masa aku nangis gara-gara laki-laki seperti itu,” jawabku sambil tersenyum. Rasanya nyaman saat tangannya menyentuh rambutku.

Tiba-tiba telepon genggam Radit berbunyi. “Halo, iya, bentar lagi aku pulang ko. Besok aku ke rumah kamu deh say. Iya, met tidur ya..” kemudian dia mematikan teleponnya.

“Siapa?”

“Ah, itu, hmmmmm…” Radit terlihat ragu-ragu.

“Pacarku,” jawabnya.

Deg. Kenapa hatiku jadi terguncang begini?

“Oooh… Kok kamu nggak pernah cerita sih?” aku pura-pura tertawa menggodanya.

Kami pun terdiam dan merasa salah tingkah.

“Aku pulang ya..” Radit menyalakan motornya dan kemudian pergi.

Aku masih terdiam di tempat dan terus memandanginya yang semakin menjauh dan tak terlihat lagi.

***

“Kuliah hari ini cukup sekian, jangan lupa besok kalian kumpulkan tugas hari ini di meja bapak ya,” Bapak Hidayat, dosen mata kuliah Conversation mengakhiri kuliahnya.

Teman-teman sekelas menjadi riuh dan satu persatu mulai meninggalkan kelas.

“Tan, sekarang kita ke kosannya Radit yuk,” Sofi menghampiriku.

“Eh, iya.. kemana dia? kok nggak masuk kuliah hari ini?” aku baru menyadari kalau hari ini aku belum melihat Radit.

“Ya elah.. baru nyadar? Jangan melamun aja non.. Hari ini Radit nggak masuk karena sakit, jadi sekarang kita menjenguk dia, Eh, tapi kamu pergi duluan aja ya, aku mau nungguin Tedi dulu.”

“Iya…”jawabku lesu.

Aku pun pergi ke kosan Radit, meski hujan turun dengan lebatnya. Sesampainya di sana, Radit membukakan pintu.

“Sendirian?” tanyanya.

“Enggak, nanti Sofi dan Tedi mau ke sini. Kamu sakit apa?” aku masuk dan menyimpan tas di atas kursi, kemudian duduk di atas tempat tidurnya.

“Cuma kecapean aja kok..”

“Makanya… banyak istirahat dong Dit..”

“Iya...” Radit terdiam di dekat jendela dan memandangi hujan di luar sana.

“Kalau melihat hujan, aku suka teringat saat kita pertama kali bertemu, “ ucapnya memecah kesunyian.

“Iya, tapi kamu jahat banget, Dit. Waktu itu aku kan lagi nangis tapi malah kamu bentak-bentak.” sungutku.

“Hahahahaha… waktu itu wajahmu menyedihkan sekali seperti kucing jalanan yang terlantar,” ejeknya.

“Radit!!! aku bangkit dari tempat tidur dan memukulnya. Tapi tangannya menahan tanganku. Sesaat kami pun terdiam, tangannya masih memegang tanganku. Kami saling menatap, cukup lama, dan wajah kami pun semakin mendekat. Kemudian bibirnya mencium bibirku.

Di saat yang bersamaan Sofi dan Tedi masuk ke kamar, secara spontan kami menjauh.

“Sedang apa kalian? Kok pada diam-diaman?” Sofi merasa curiga melihat gelagat kami berdua.

“Ah, enggak kok…” bantahku.

Kemudian kami berempat mengobrol dan tertawa bersama seperti biasanya. Tapi aku tidak berani menatap wajah Radit, dan dia pun tidak menatapku.

***

Setelah kejadian hari itu, Radit selalu menghindariku. Di dalam kelas pun kami hampir tidak berbicara satu sama lain. Lama kelamaan aku merasa tidak nyaman dengan keadaan seperti ini. Sofi pun merasa aneh melihat tingkah laku kami berdua.

Karena itu, pada malam harinya, aku menunggu Radit di depan tempat kerjanya. Lama sekali aku menunngu, tapi akhirnya dia keluar dari restoran sambil menjinjing helm di tangan kirinya..

“Tania?!” Radit terlihat kaget saat melihatku.

Aku berjalan menghampirinya. Kami masih tidak saling menatap dan terdiam.

“Begini Dit, ada yang mau aku bicarakan. Aku…”

“Maaf…” tiba-tiba dia memotong ucapanku.

“Aku tahu, kamu merasa tidak nyaman setelah kejadian itu. Aku cuma bisa bilang maaf”. dia memalingkan wajahnya.

“Maaf?”

Tanpa terasa, satu persatu air mata menetes di pipiku.

“Cuma itu yang mau kamu bilang sama aku?” aku tidak bisa menahan emosiku.

“Bukan begitu Tania… aku….”

“Cukup!! Aku ngerti Kalau memang kamu lebih suka berpura-pura, nggak apa kok. Tapi aku tetap kesal.”

Hujan mulai turun tetapi kami tetap bergeming.

“Kalau kamu memang menyesal, anggap saja semuanya nggak pernah terjadi. Kalau kamu cuma main-main saja percuma aku bicara!”

Aku pergi meninggalkan Radit yang masih terdiam.

Hujan semakin deras dan membasahi tubuhku, tapi aku tidak peduli, Aku terus berlari sekencang-kencangnya. Hatiku terasa pedih, dadaku sakit sekali, aku nggak bisa bernafas. Padahal ini bukan pertama kalinya aku menangis. Ternyata mencintai seseorang bisa begitu menyakitkan. Aku tak sanggup menghentikan perasaanku ini. Baru kali ini, aku merasakan hal seperti ini. Apa yang kurasakan saat ini, pasti takkan terhapus untuk selamanya..

***

Aku terdiam di atas tempat tidurku, menutup kedua mataku, dan mencoba melupakan kejadian di malam itu. Tapi, tetap tak bisa.

Tiba-tiba telepon genggamku berbunyi.

“Halo?”

“Tania!!!” ternyata Sofi yang meneleponku.

“Kamu kemana saja sih? Sudah seminggu nggak masuk kuliah. Sebenarnya kamu kenapa??”

“Aku nggak kenapa-kenapa kok.. cuma sedang tidak enak badan aja…”

“Jangan bohong… sebenarnya ada apa antara kamu dan Radit? Kalian bertengkar?”

Aku tidak menjawab pertanyaannya.

“Huff.. Radit juga nggak mau bilang apa-apa..”

Aku memutuskan telepon. Maaf ya Sofi, saat ini aku tidak mau bicara dengan siapapun.

Setelah terdiam cukup lama, aku memutuskan untuk pergi keluar, ya sekedar menyegarkan suasana hatiku. Saat membuka pintu, aku kaget, Radit berdiri di hadapanku.

“Ada apa?” tanyaku ketus.

“Aku ke sini karena ada yang ingin kukatakan. Kamu pikir menghindar bisa menyelesaikan masalah?”

Aku terdiam dan tidak menatap wajahnya.

“Aku tahu kamu marah, tapi tolong dengarkan aku. Waktu itu, aku minta maaf karna aku sudah membuat suasana menjadi tidak karuan, tapi bukan berarti aku menyesal dengan apa yang sudah kulakukan.”

Aku terdiam dan menatap wajahnya.

“Aku merasa bersalah pada pacarku, tapi aku juga tidak bisa membohongi perasaanku. Kemarin aku sudah bicara padanya, kalau kami sudah tidak bisa bersama lagi.”

“Selama ini aku selalu merasa nyaman jika berada di sampingmu. Kalau kamu nggak ada, aku merasa ada yang kurang dan semua jadi membosankan. Mungkin karna sudah terbiasa berada di dekatmu aku jadi tidak menyadari perasaanku padamu. Tapi sekarang aku yakin, kalau aku sayang kamu Tania… Karena itu, tetaplah di sisiku,” Radit memegang kedua tanganku dan menatapku dengan lembut.

Aku tidak bisa menahan air mataku.

“Aku juga nggak bisa membohongi perasaanku lagi Dit, kalau selama ini, aku juga sayang sama kamu…”

Radit tersenyum dan menghapus air mataku dengan kedua tangannya. Kemudian dia memelukku. Pelukannya ini takkan pernah kulepaskan lagi, selamanya. Karena cintaku kali ini adalah cinta yang sangat berharga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar