Senin, 01 Februari 2010

Penulis Perempuan, Sastra Wangi, dan Marginalitas

Pada jalannya sejarah sastra di Indonesia, para penulis perempuan seperti terlupakan eksistensinya. Pada Angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, dan Angkatan 1945 yang disebut sebagai angkatan pendobrak banyak didominasi oleh penulis kaum adam. Banyak penulis yang terkenal pada masa itu, seperti Marah Rusli, S.T. Alisyahbana, Chairil Anwar, dan lainnya. Saat itu ada juga beberapa penulis perempuan seperti.. Tapi keberadaan mereka dan karya-karyanya tidak terlalu direspon dengan baik oleh masyarakat. Bahkan mungkin banyak orang yang tidak mengenal mereka.
Baru pada tahun 60-an mulai bermuncuanl penulis perempuan yang dikenal masyarakat luas, misalnya N.H. Dini. Karya-karya Dini banyak disukai karena gaya penceritaannya yang halus dan mengalir. Tapi tetap saja karya-karya yang paling dominan saat itu adalah karya-karya dari penulis laki-laki.
Periode Pasca Reformasi terjadi ledakan produksi di bidang sastra. Hal tersebut dipicu oleh terbitnya Saman karya Ayu Utami. Sejak Saman mendapat Penghargaan Sastra Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1998, Ayu kerap dipandang sebagai pembuka jalan kaum perempuan dalam mengembangkan bakat dan kreatifitas tulis-menulis. Ia juga disebut sebagai pelopor gaya penulisan perempuan yang secara eksplisit melukiskan seks dan seksualitas yang selama ini dianggap tabu. Ayu mempopulerkan seks dari sudut pandang perempuan yang selama ini merupakan otoritas kaum laki-laki. Jika para penulis laki-laki masih memakai metafora untuk mengungkapkan alat-alat reproduksi manusia dan aktivitas seks, Ayu justru melakukan revolusi; menabrak tabu seks dengan menulis istilah-istilah itu secara langsung dan jelas.
Selain Ayu, muncul juga penulis lainnya seperti Djenar Maesa Ayu dan Dinar Rahayu yang bahkan lebih ‘berani’ dibanding Ayu. Djenar terkenal dengan karyanya ‘Nayla’ dan Dinar dengan ‘Ode untuk Leopold von Sacher-Masoch’. Meskipun bukan menjadi tema utama tapi seks dijelaskan secara eksplisit dalam karya mereka. Hal tersebut mengusik sebagian pembaca tetapi di sisi lain banyak mendapat pujian oleh berbagai kalangan dan sangat fenomenal di masyarakat.
Merebaknya karya-karya penulis perempuan yang berbau seksualitas memunculkan istilah ‘sastra wangi’. Sastra wangi bukanlah sebuah genre sastra, tapi merupakan penamaan atau sebutan bagi penulis perempuan semisal Ayu, Djenar, dan Dinar. Istilah sastra wangi sendiri memiliki konotasi negatif. Para penulis perempuan yang masuk golongan penulis sastra wangi tidak memiliki latar belakang sebagai penulis. Kebanyakan di antara mereka berasal dari kalangan selebritas. Karya-karya penulis sastra wangi umumnya berisi masalah seksualitas, glamouritas, sensasi serta menceritakan gaya hidup dan keseharian mereka sebagai selebriti. Hal itu pula yang menjadi salah satu komoditi dan nilai jual dari karya-karya mereka.
Munculnya istilah sastra wangi sendiri bukanlah berasal dari kalangan sastrawan atau kritikus sastra, melainkan berasal dari Fazrul Rahman, seorang presenter infotaiment. Awal penggunaan istilah sastra wangi hanyanya sebagai atribut negatif, tetapi kemudian media terus menggunakan istilah ini sebagai citra dan untuk menaikkan nilai penjualan. Meskipun para penulis sastra wangi ini selalu dipandang negatif oleh sebagian masyarakat, harus kita akui eksistensi mereka menambah marak dunia sastra Indonesia sehingga lebih bervariatif dan memunculkan satu inovasi baru.
Fenomenalnya penulis dan karya-karya sastra wangi menyebabkan sejumlah penulis perempuan menjadi agak terpinggirkan. Beberapa penulis ini di antaranya adalah Nukila Amal, Linda Christanty, dan Intan Paramaditha. Nukila sempat mendapat sorotan saat penerbitan novel perdananya, Cala Ibi (2003). Novel ini termasuk salah satu dari lima besar yang dinomimasikan untuk meraih Khatulstiwa Literary Award 2002-2003. Sedangkan Linda terkenal dengan kumpulan cerpen perdananya, Kuda Terbang Maria Pinto (2004) dan berhasil meraih Penghargaan Sastra Khatulistiwa pada tahun 2004. Bahkan Intan mendapat pujian dari beberapa kritikus terkemuka saat menerbitkan kumpulan cerpen pertamanya yang berjudul Sihir Perempuan (2004).
Tetapi semua penghargaan itu tidak membuat pembaca lantas memalingkan mata ke tiga penulis ini. Karya-karya mereka memang tidak mengikuti ‘arus’ yang sedang tren dengan masalah seksualitas sehingga menjadi tidak popular dan termarginalkan. Marginalitas tersebut adalah posisi yang tak hanya disorongkan kepada mereka, melainkan pilihan bagi mereka.
Sementara itu, Linda memutuskan untuk tetap menulis dengan caranya sendiri. “Saya menulis apa yang menurut saya penting dan mempunyai dampak besar, seperti masalah Hak Asasi Manusia, perang, dan kaum yang tertindas,” jelas Linda saat ditanya mengenai ruang marginalitas.
Menurut Linda, fenomenalnya suatu karya sastra di masyarakat luas tidak hanya menyangkut isi karya tersebut. Jaringan dan koneksi serta keberuntungan juga mempengaruhi terkenalnya seorang penulis dan karyanya. Suatu karya tidak akan luput dari kepentingan industri.
Pada tahun 2004, sebenarnya muncul arus besar dalam dunia sastra di Indonesia. Saat itu, banyak karya yang tidak melulu membahas seksualitas. Banyak karya yang muncul membahas tema yang lebih beragam, seperti masalah politik, jurnalisme, hak asasi manusia, agama, dan lainnya. Karena itu, penulis perempuan tidak selalu identik dengan Sastra Wangi. Sekarang banyak ruang terbuka untuk mengembangkan bakat dan kreatifitas menulis bagi penulis perempuan Indonesia.

Selasa, 12 Januari 2010

APA ITU ETNOGRAFI KOMUNIKASI?

Kajian sosiolinguistik yang tergolong mendapat perhatian cukup besar adalah kajian tentang etnografi komunikasi. Etnografi adalah kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat-istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi, bahasa. Bidang kajian vang sangat berdekatan dengan etnografi adalah etnologi, yaitu kajian perbandingan tentang kebudayaan dari berbagai masyarakat atau kelompok (Richards dkk.,1985). Semula etnografi komunikasi (etnography of communication) disebut etnografi wicara atau etnografi pertuturan (ethnograpliy of speaking). Kalau etnografi itu dipandang sebagai kajian yang memerikan suatu masyarakat atau etnik, model pemerian etnografi itu bisa diterapkan dan difokuskan kepada bahasa masyarakat atau kelompokmasyarakat tertentu. Karena sosiolinguistik itu lebih banyak mengungkapkan pemakaian bahasa, dan bukan ihwal struktur bahasa, maka etnografi tentang bahasa difokuskan kepada pemakaian bahasa dalam pertuturan atau lebih luas lagi komunikasi yang menggunakan bahasa.
Istilah etnography of speaking awalnya diperkenalkan oleh seorang pakar antropologi dan sekaligus pakar linguistik Amerika, Dell Hymes (dalam Gladwin, T. dan Sturtevant, W.,1982; juga dalam Fishman, J., 1968). Istilah itu kemudian diubah oleh penulisnya menjadi etnography o fcommunication, karena istilah ini dianggap lebih tepat.
Hymes memprihatinkan karya para pakar antropologi dan linguistik yang melupakan wilayah komunikasi manusia yang luas dan penting. Para antropolog telah lama melakukan kajian etnografis tentang aspek-aspek budaya seperti sistem kekerabatan, pandangan tradisional tentang obat-obatan dan penyembuhan penyakit; persoalan bahasa diperlakukan di bawah aspek lain, yaitu. sebagai sarana untuk memperoleh topik-topik lain dari bahasa. Banyak buku yang megkaji tentang perbandingan agama, perbandingan politik, dan sebagainya, tetapi tidak ada buku tentang perbandingan wicara dari berbagai suku. Para linguis, menurutnya juga terlalu mementingkan bahasa sebagai sistem abstrak. Mereka terpaku untuk memerikan dan menjelaskan struktur kalimat yang dianggap gramatikal oleh penutur asli. Namun, bagaimana orang menggunakan kalimat itu apakah berbeda dengan kalimat lain, apakah kalimat itu menyuruh orang lain, atau memamerkan ujaran saja, dianggap di luar perhatian teori linguistik. Menurut Hymes “para pakar i1mu sosial memisahkan diri dari isi tutur, dan kedua pakar itu memisahkan diri dari pola penggunaan tutur”(1974:126). Etnografi komunikasi akan mengisi kesenjangan itu dengan menambahkan hal lain (pertuturan atau komunikasi) terhadap topik-topik garapan bidang antropologi bagi pemerian etnografis, dan mengembangkan kajian linguistik. Linguistik yang lebih lengkap akan dikaitkan bagaimana penutur menggunakan struktur tersebut.
Perhatian utama dalam etnografi komunikasi, sebagaimana telah didefinisikan oleh Hymes, mencakup topik-topik berikut ini :
1. Pola dan fungsi komunikasi(patterns and functions of communication)
2. Hakekat dan definisi masyarakat tutur (nature and definition of speech community)
3. Cara-cara berkomunikasi (means of communicating)
4. Komponen-komponen kompetensi komunikatif (components of communicative competence)
5. Hubungan bahasa dengan pandangan dunia dan organisasi sosial (relationship of language to world view and social organization)
6. Semesta dan ketidaksaman linguistik dan sosial (linguistic and social universals and inequalities).

SEJARAH DAN ALIRAN LINGUISTIK

A. LINGUISTIK TRADISIONAL
Berikut ini akan dijelaskan bagaimana terbentuknya tata bahasa tradisional dari zaman ke zaman, mulai zaman Yunani sampai masa menjelang munculnya linguistik modern di sekitar akhir abad ke-19.
1. Linguistik Zaman Yunani
Masalah pokok kebahasaan yang menjadi pertentangan para linguis waktu itu adalah pertentangan antara fisis dan nomos, dan pertentangan antara analogi dan anomali. Para filsuf Yunani mempertanyakan, apakah bahasa itu bersifat alami (fisis) atau bersifat konvensi (nomos). Bersifat alami maksudnya bahasa itu mempunyai asal-usul, sumber dalam prinsip-prinsip abadi dan tidak dapat diganti di luar manusia itu sendiri. Bahasa bersifat konvensi maksudnya, makna-makna kata itu diperoleh dari hasil-hasil tradisi atau kebiasaan yang mempunyai kemungkinan bisa berubah.
Pertentangan analogi dan anomali menyangkut masalah bahasa itu sesuatu yang teratur dan tidak teratur. Kaum analogi antara lain, Plato dan Aristoteles, berpendapar bahwa bahasa itu bersifat teratur, karena itulah orang dapat menyusun tata bahasa. Sebaliknya, kelompok anomali berpendapat bahwa bahasa itu tidak teratur.
Dari studi bahasa pada zaman Yunani ini kita mengenal nama beberapa kaum atau tokoh yang mempunyai peranan besar dalam studi bahas ini.
a. Kaum Sophis
b. Plato (429 – 347 S.M.)
c. Aristoteles ( 384 – 322 S.M. )
d. Kaum Stoik
e. Kaum Alexandrian
2. Zaman Romawi
Studi bahasa pada zaman Romawi dapat dianggap kelanjutan dari zaman Yunani. Tokoh pada zaman Romawi yang terkenal, antara lain, Varro ( 116-27 S.M. ) dengan karyanya De Lingua Latina dan Priscia dengan karyanya Institutiones Grammaticae.
a. Varro dan De Lingua Latina
Dalam buku De Lingua Latina masih juga memperdebatkan masalah analogi dan anomali seperti pada zaman Stoik di Yunani. Buku ini dibagi dalam bidang-bidang etimologi dan morfologi..
a) Etimologi, adalah cabang Linguistik yang menyelidiki asal – usul kata beserta artinya.
b) Morfologi, adalah cabang linguistik yang mempelajari kata dan pembentukannya.
Mengenai deklinasi, yaitu perubahan bentuk kata, Varro membedakan adanya 2 macam deklinasi, yaitu deklinasi naturalis dan deklinasi voluntaris.
a) Deklinasi naturalis, adalah perubahan yang bersifa alamiah, sebab perubahan itu dengan sendirinya dan sudah berpola.
b) Deklinasi voluntaris, adalah perubahan yang terjadi secara morfologis, bersifat selektif dan manasuka.
b. Institutiones Grammaticae atau Tata Bahasa Priscia
Beberapa segi yang patut dibicarakan dalam buku ini antara lain :
a) Fonologi
b) Morfologi
c) Sintaksis
3. Zaman Pertengahan
Dari zaman pertengahan ini yang patut dibicarakan dalam studi bahasa antara lain :
a) Kaum Modistae masih membicarakan pertentangan antara fisis dan nomos dan pertentangan antara analogi dan anomali.
b) Tata Bahasa Spekulstiva, merupakan hasil integrasi deskripsi gramatikal bahasa latin ke dalam filsafat skolastik.
c) Petrus Hispanus, bukunya berjudul Summulae Logicales.
4. Zaman Renaisans
Dianggap sebagai pembukaan abad pemikiran abad modern. Ada 2 hal yang perlu dicatat :
(1) Selain menguasai bahasa Latin, sarjana-sarjana pada waktu itu juga menguasai bahasa Yunani, bahasa Ibrani dan bahasa Arab.
(2) Selain bahasa Yunani, Latin, Ibrani dan Arab, bahasa-bahasa Eropa lainnya juga mendapat perhatian dalam bentuk pembahasan, penyusunan tata bahasa, dan malah juga perbandingan.
5. Menjelang Lahirnya Linguistik Modern
Ferdinand de Saussure dianggap sebagai Bapak Linguistik Modern. Masa antara lahirnya Linguistik Modern dengan masa berakhirnya zaman renainsans ada satu tonggak yang sangat penting dalam sejarah studi bahasa. Mengenai Linguistik tradisional di atas, maka secara singkat dapat dikatakan, bahwa :
a) Pada tata bahasa tradisional ini tidak dikenal adanya perbedaan antara bahasa ujaran dengan bahasa tulisan.
b) Bahasa yang disusun tata bahasanya dideskripsikan dengan mengambil patokanpatokan dari bahasa lain.
c) Kaidah-kaidah bahasa dibuat secara preskriptif, yakni benar atau salah.
d) Persoalan kebahasaan sering kali dideskripsikan dengan melibatkan logika.
e) Penemuan-penemuan atau kaidah-kaidah terdahulu cenderung untuk selalu dipertahankan.

B. LINGUISTIK STRUKTURALIS
1. Ferdinand de Saussure
Dianggap sebagai Bapak Linguistik Modern berdasarkan pandangan-pandangan yang dimuat dalam bukunya Course de Linguistique Generale. Buku tersebut sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Pandangan yang dimuat dalam buku tersebut mengenai konsep :
a) Telaah sinkronik dan diakronik.
b) La Langue dan La Parole.
c) Signifiant dan Signifie.
d) Hubungan Sintagmatik dan Paradigmatik.
2. Aliran Praha
Aliran Praha terbentuk pada tahun 1926 atas prakarsa salah sorang tokohnya, yaitu Vilem mathesius (1882-1945).Dalam bidang Fonologi aliran Praha inilah yang pertama-tama membedakan dengan tegas akan fonetik dan fonologi. Aliran Praha ini juga memperkenalkan dan mengembangkan suatu istilah yang disebut morfonologi, bidang yang meneliti struktur fonologis morfem.
Dalam bidang sintaksis, Vilem Mathesius mencoba menelaah kalimat melalui pendekatan fungsional. Menurut pendekatan ini kalimat dapat dilihat dari struktur formalnya dan juga dari stuktur informasinya yang terdapat dalam kalimat yang bersangkutan. Struktur informasi menyangkut unsure tema dan rema. Tema adalah apa yang dibicarakan, sedangkan rema adalah apa yang dikatakan mengenai tema.
3. Aliran Glosematik
Aliran Glosematik lahir di Denmark. Tokohnya, antara lain, Louis Hjemslef (1899-1965), yang meneruskan ajaran Ferdinand de Sausure. Menurut Hjemslev teori bahasa haruslah bersifat sembarang saja, artinya harus merupakan suatu sistem deduktif semata-mata. Teori itu harus dapat dipakai secara tersendiri untuk dapat memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang timbul dari premis-premisnya. Hjemslev menganggap bahasa itu mengandung dua segi, yaitu segi ekspresi dan segi isi.
4. Aliran Firthian
Nama John R. firth (1890-1960) guru besar pada Universitas London sangat terkenal karena teorinya mengenai fonologi prosodi. Fonologi Prosodi adalah suatu cara untuk menentukan arti pada tataran fonetis. Ada tiga macam pokok prosodi:
a) Prosodi yang menyangkut gabungan fonem,
b) Prosodi yang terbentuk oleh sendi atau jeda,
c) Prosod iyang realisasi fonetisnya melampaui satuan yang lebih besar daripada fonem-fonem suprasegmental.
Firth juga terkenal dengan pandangannya mengenai bahasa. Firth berpendapat bahwa bahasa harus memperhatikan komponen sosiologis.
5. Linguistik Sistemik
Nama aliran linguistic sistemik tidak dapat dilepaskan dari nama M.A.K. Halliday. Pokok-pokok pandangan sistemik linguistik adalah
1. SL memberikan perhatian penuh pada segi kemasyarakatan bahasa.
2. SL memandang bahasa sebagai pelaksana
3. SL lebuh mengutamakan pemerian cirri-ciri bahasa tertentu beserta variasi-variasi
4. SL mengenal adanya gradasi atau kontinum.
5. SL, menggambarkan tiga tataran utama bahasa sebagai berikut :
6. Leonard Bloomfield dan Strukturalis Amerika
Aliran ini berkembang pesat di Amerika pada tahun tiga puluhan dan lima puluhan. Faktor yang menyebabkannya adalah :
1. Pada masa itu linguis di Amerika menghadapi masalah yang sama, yaitu banyak sekali bahasa Indian yang belum diberikan.
2. Sikap Bloomfield yang menolak mentalistik sejalan dengan iklim fisafat yang berkembang pada masa itu di Amerika, yaitu filsafat behaviorisme.
3. Diantara linguis-linguis itu ada hubungan yang baik. Aliran strukturalis yang dikembangkan bloomfield dengan para pengikutnya sering juga disebut aliran taksonomi, dan aliran Bloomfieldian atau post-Bloomfieldian. Karena bermula atau bersumber pada gagasan Bloomfield. Disebut aliran taksonomi karena aliran ini menganalisis dan mengklasifikasi unsur-unsur bahasa berdasarkan hubungan hirarkinya.
7. Alirean Tagmemik
Menurut aliran ini satuan dasar dari sintaksis adalah tagmem. Yang dimaksud dengan Tagmem adalah korelasi antara fungsi gramatikal atau slot dengan sekelompok bentuk-bentuk kata yang dapat saling dipertukarakn untuk mengisi slot tersebut. Satuan dasar sintaksis itu, yaitu tagmem, merupakan suatu sistem sel-empat-kisi.

C. LINGUISTIK TRANSFORMASIONAL DAN ALIRAN–ALIRAN SESUDAHNYA
1. Tata Bahasa Transformasi
Dalam buku Noam Chomsky yang berjudul Syntatic Structure pada tahun 1957, dan dalam buku Chomsky yang kedua yang berjudul Aspect of the Theory of Syntax pada tahun 1965. mengembangkan model tata bahasa yaitu transformational generative grammar, dalam bahasa Indonesia dsebut tata bahasa transformasi atau bahasa generatif. Tujuan penelitian bahasa adalah untuk menyusun tata bahasa dari bahasa tersebut. Bahasa dapat dianggap sebagai kumpulan kalimat yang terdiri dari deretan bunyi yang mempunyai makna maka haruslah dapat menggambarkan bunyi dan arti dalam bentuk kaidah- kaidah yang tepat dan jelas. Syarat untuk memenuhi teori dari bahasa dan tata bahasa yaitu :
1. kalimat yang dihasilkan oleh tata bahasa itu harus dapat diterima oleh pemakai bahasa tersebut, sebagai kalimat yang wajar dan tidak dibuat – buat.
2. tata bahasa tersebut terus berbentuk sedemikian rupa, sehingga satuan atau istilah tidak berdasarkan pada gejala bahasa tertentu saja dan semuanya ini harus sejajar dengan teori linguistik tertentu.
Konsep language dan paroleh dari de sausure, Chomsky membedakan adanya kemampuan (kompeten) dan perbuatan berbahasa (performance). Jadi objeknya adalah kemampuan. Seorang peneliti bahasa harus mampu menggambarkan kemampuan si pemakai bahasa untuk mengerti kalimat yang tidak terbatas jumlahnya, yang sebagian besar, barangkali, belum pernah didengarnya atau dilihatnya. Kemampuan membuat kalimat-kalimat baru disebut aspek kreatif bahasa.
Dalam buku Tata Bahasa Transformasi lahur bersamaan dengan terbitnya buku Syntatic Structure tahun 1957. buku ini sering disebut “ Tata Bahasa Transformasi Klasik“. Kemudian disusul aspect of the theory of syntax dalam buku ini Chomsky menyempurnakan teorinya mengenai sintaksis dengan mengadakan beberapa perubahan yang prinsipil. Tahun 1965 dikenal dengan standar teori, kemudian tahun 1972 diberi nama Extended Standard Theory, tahun 1975 diberi nama Revised Extended Standard Theory. Terakhir buku ini direvisi dengan nama Government and Binding Theory.
Dari kesimpulan tersebut terdiri dari 3 komponen :
1. komponen sintetik
2. komponen semantik
3. komponen fologis
2. Semantik Generatif
Menurut semantik generatf, sudah seharusnya semantic dan sintaksis diselidiki bersama sekaligus karena keduanya adalah satu. Struktur semantic itu serupa dengan struktur logika.
Menurut teori semantik generatif, argumen adalah segala sesuatu yang dibicarakan; sedangkan predikat itu semua yang menunjukan hubungan, perbuatan, sifat , keanggotaan, dan sebagainya.
3. Tata Bahasa Kasus
Tata bahasa kasus diperkenalkan oleh Charles J. Fillmore. Fillmore membagi kalimat atas:
1. Modalitas, yang berupa unsur negasi, kala, aspek, dan adverbia.
2. Proposisi, yang terdiri dari sebuah verba disertai dengan sejumlah kasus.
Yang dimaksud dengan kasus dalam teori ini adalh hubungan antara verba dengan nomina. Verba di sini sama dengan predikat, sedangkan nomina sama dengan argumen dalam teori semantik generatif.
4. Tata Bahasa Relasional
Sama halnya dengan tata bahasa transformasi, tata bahasa relasional juga berusaha mencari kaidah kesemestaan bahasa. Dalam hal ini tata bahasa relasional banyak menyerang tata bahasa transformasi, karena menganggap teori-teori tata bahasa transformasi tidak dapat diterapkan pada bahasa-bahasa lain selain bahasa inggris.

Kamis, 03 Desember 2009

KAJIAN NOVEL BUMI MANUSIA

Dalam Kajian Novel Bumi Manusia ini akan menganalisis struktur novel hanya berdasarkan unsur intrinsik saja.
Analisis Unsur Intrinsik
Tema
Tema novel ini adalah tentang kisah percintaan seorang pemuda keturunan priyayi Jawa dengan seorang gadis keturunan Belanda dan perjuangannya di tengah pergerakan Indonesia di awal abad ke-20.

Tokoh dan Penokohan
Minke, tokoh utama, karena mempunyai peran yang paling penting dalam cerita, mendominasi seluruh besar cerita. Tokoh protagonis, diberi empati oleh pembaca. Penggambaran fisik : Seorang Pribumi tulen.
Narasi : Minke adalah seorang manusia berdarah priyayi yang semampu mungkin keluar dari kepompong kejawaannya menuju manusia yang bebas dan merdeka, di sudut lain membelah jiwa ke-eropa-an yang menjadi simbol dan kiblat dari ketinggian pengetahuan dan peradaban.
Dialog : “Aku lebih mempercayai ilmu-pengetahuan, akal.”
Penggambaran pikiran dan perasaan : Aku ini siswa H.B.S., haruskah merangkak di hadapannya dan mengangkat sembah? Apa guna belajar ilmu dan pengetahuan Eropa, bergaul dengan orang-orang Eropa, kalau akhirnya toh harus merangkak, beringsut seperti keong dan menyembah seorang raja kecil.
Annelies Mellema, tokoh utama karena mempunyai peran yang penting dalam cerita, mendominasi sebagian besar cerita. Tokoh protagonis, sejalan dengan tokoh utama dan tidak menentang ataupun menyebabkan konflik.
Penggambaran fisik : Di depan kami berdiri seorang gadis berkulit putih, halus, berwajah Eropa, berambut dan bermata Pribumi. Dan mata itu, mata berkilauan itu seperti sepasang kejora; dan bibirnya tersenyum meruntuhkan iman.
Dialog : “Aku adalah seorang Pribumi, seperti mama.”
Penggambaran pikiran tokoh lain : Seperti ratu, Minke. Begitu lembut wajahnya. Primadona dari Italia dan Spanyol, ballerina dari Prancis dan Rusia pun takkan secantik dia.
Nyai Ontosoroh, tokoh tambahan, muncul beberapa kali dari sebagian cerita. Tokoh protagonis, sejalan dengan tokoh utama dan tidak menentang ataupun menyebabkan konflik.
Penggambaran fisik : Pemunculannya begitu mengesani karena dandanannya yang rapi, wajahnya yang jernih, senyumnya yang keibuan, dan riasnya yang terlalu sederhana. Ia kelihatan manis dan muda, berkulit langsat.
Narasi : Sejak detik itu hilang sama sekali penghargaan dan hormatku pada ayahku; pada siapa saja yang dalam hidupnya pernah menjual anaknya sendiri. Untuk tujuan dan maksud apapun.
Dialog : “Hanya pengabdi uang. Bertambah banyak uang kau berikan padanya, bertambah jujur dia padamu. Itulah Eropa!”
Penggambaran pikiran dan perasaan : Tidak seperti ayahku, Ann, aku takkan menentukan bagaimana harusnya macam menantuku kelak. Kau yang menentukan, aku yang menimbang-nimbang.
Robert Mellema, tokoh tambahan, muncul beberapa kali dari sebagian cerita. Tokoh antagonis, tidak diberi empati oleh pembaca. Ditafsirkan sebagai penentang tokoh utama dan menyebaban konflik.
Penggambaran fisik : Ia berwajah Eropa, berkulit Pribumi, jangkung, tegap, kukuh.
Narasi : Seorang pemuda Indo yang sangat mengagungkan Hindia Belanda dan memandang rendah ribumi.
Dialog : Dan juga jangan lupa, kau hanya seorang Pribumi.
Penggambaran pikiran tokoh lain : Hanya matanya yang coklat kelereng itu juga yang suka melirik sedang bibirnya yang suka tercibir benar-benar menggelisahkan aku.
Robert Suurhof, tokoh tambahan, muncul beberapa kali dari sebagian cerita. Tokoh antagonis, tidak diberi empati oleh pembaca. Ditafsirkan sebagai penentang tokoh utama dan menyebaban konflik.
Penggambaran fisik : Dia temanku di H.B.S., ia lebih tinggi daripadaku. Dalam tubuhnya mengalir darah Pribumi. Entah berapa tetes atau gumpal.
Dialog : “Kalau kau kalah, awas, untuk seumur hidup kau akan jadi tertawaanku. Ingat-ingat itu, Minke.”
Penggambaran pikiran tokoh lain : Aku tahu otak H.B.S. dalam kepala Robert Suurhof ini hanya pandai menghina, mengecilkan, melecehkan, dan menjahati orang. Dia anggap tahu kelemahanku: tak ada darah Eropa dalam tubuhku.
Magda Peters, tokoh tambahan, muncul beberapa kali dari sebagian cerita. Tokoh protagonis, sejalan dengan tokoh utama dan tidak menentang ataupun menyebabkan konflik.
Penggambaran fisik : Seluruh kulitnya yang tidak tertutup kelihatan totol-totol coklat. matanya yang coklat bening selalu kelap-kelip.
Narasi : Guruku melarang kami mempercayai astrologi. Omong kosong, katanya.
Penggambaran pikiran tokoh lain : Ia mengesankan diri seakan seekor monyet putih betina yang bertampang kagetan. Tapi begitu mendengar pelajarannya yang pertama semua jadi terdiam. Perasaan hormat menggantikan.
Jean Marais (Syang Maré), tokoh tambahan, muncul beberapa kali dari sebagian cerita. Tokoh protagonis, sejalan dengan tokoh utama dan tidak menentang ataupun menyebabkan konflik.
Penggambaran fisik : Kakinya hilang satu akibat peperangan sewaktu masih jadi tentara.
Dialog : “Seniman besar, Minke, entah ia pelukis, entah apa, entah peimpin, entah panglima perang, adalah karena disarati dan dilandasi engalaman-pengalaman besar, intensif; perasaan, batin, atau badan. Tanpa pengalaman besar, kebesaran seseorang khayali semata.”
Penggambaran pikiran dan perasaan : Jean Marais, pelukis, perancang perabot rumah tangga, bangsa Prancis, sahabatku, tak berbahasa Belanda.


Herman Mellema, tokoh tambahan, muncul beberapa kali dari sebagian kecil cerita.
Penggambaran fisik : Alisnya tebal, tidak begitu putih, dan wajahnya beku seperti batu kapur. Rambutnya yang tak bersisir dan tipi situ menutup pelipis, kuping.
Penggambaran pikiran tokoh lain : Tuan telah tinggalkan pada Mevrouw Amelia Mellema-Hammers satu tuduhan telah berbuat serong. Aku, anaknya, ikut merasa terhina.
Darsam, tokoh tambahan, muncul beberapa kali dari sebagian cerita. Tokoh protagonis, sejalan dengan tokoh utama dan tidak menentang ataupun menyebabkan konflik.
Penggambaran fisik : Darsam, yang belum pernah aku lihat itu muncul dalam benakku. Hanya kumis, tak lain dari kumis, sekepal dan clurit.
Narasi : Seorang pendekar Madura yang sangat patuh kepada majikannya. Tapi karena sifatnya yang selalu bertindak tanpa berpikir panjang, terkadang mengundang bahaya.
Dialog : “Darsam ini, Tuanmuda, hanya setia pada Nyai. Apa yang disayangi Nyai, disayangi Darsam. Apa yang diperintahkan, Darsam lakukan. tak peduli macam apa perintah itu.”
Penggambaran pikiran tokoh lain : Ternyata dia memang bisa dipercaya.
Dokter Martinet, tokoh tambahan, muncul beberapa kali dari sebagian cerita. Tokoh protagonis, sejalan dengan tokoh utama dan tidak menentang ataupun menyebabkan konflik.
Penggambaran fisik : Ia berumur empatpuluhan, sopan, tenang dan ramah. Ia berpakaian serba putih kecuali topinya yang dari laken kelabu. matanya yang sebelah kanan menggunakan kaca monokel, yang terikat pada rantai mas pada lubang kancing abju sebelah atas.
Penggambaran pikiran tokoh lain : Bukan saja aku anggap dia sebagai seorang dokter yang trampil, seorang sarjana yang tinggi kemanusiaanya, juga seorang yang mampu memberi benih kekuatan baru.
Ibu Minke, tokoh tambahan, muncul beberapa kali dari sebagian cerita. Tokoh protagonis, sejalan dengan tokoh utama dan tidak menentang ataupun menyebabkan konflik.
Narasi : Seorang ibu yang bijaksana dan sangat menyayangi anaknya.
Dialog : “Terserah padamu kalau memang kau suka dan dia suka. Kau sudah besar. Tentu kau berani memikul akibat dan tanggungjawabnya, tidak lari seperti kriminil.”
Penggambaran pikiran tokoh lain : Kau tak pernah menghukum aku, tak pernah mengadili putramu ini.
Ayah Minke, tokoh tambahan, muncul beberapa kali dari sebagian kecil cerita.
Narasi : Seorang ayah yang keras, pemarah, dan sangat menjunjung tinggi adat istiadat Jawa.
Dialog : “Dengar kau anak mursal! Kau sudah jadi linglung mengurusi nyai orang lain. Lupa pada orangtua, lupa pada kewajiban sebagai anak.
Tuan Asisten Residen B, tokoh tambahan, muncul beberapa kali dari sebagian cerita. Tokoh protagonis, sejalan dengan tokoh utama dan tidak menentang ataupun menyebabkan konflik.
Narasi : Seorang Belanda yang sangat menaruh perhatian kepada Pribumi.
Dialog : “Minke, kalau kau bersikap begitu terus, artinya mengambil sikap Eropa, tidak kebudak-budakan seperti orang Jawa seumumnya, mungkin kelak kau bisa jadi orang penting. Mestinya kau sebagai terpelajar, sudah tahu: bangsamu sudah begitu rendah dan hina. Orang Eropa tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya. Pribumi sendiri yang harus memulai sendiri.”

Alur dan Pengaluran
Alur cerita ini menggunakan alur keras, yaitu akhir cerita tidak dapat ditebak. Pada awal dan tengah cerita, mungkin pembaca akan berpikir cerita akan berakhir bahagia dengan pernikahan Minke dan Annelies, tetapi cerita ini diakhiri dengan perpisahan Annelies dan Minke. Annelies harus pergi ke negaranya, Belanda, sedangkan Minke tetap di Hindia sebagai seorang Pribumi.
Secara keseluruhan novel ini menggunakan alur maju, tetapi ditengah cerita terdapat kilas balik, yaitu :
Agar ceritaku ini agak urut, biar kuutarakan dulu yang terjadi atas diri Robert sepeninggalanku dari Wonokromo dibawa agen polisi klas satu itu ke B……………
Pengaluran yang digunakan di dalam novel Bumi Manusia ini adalah :
Teknik linier: Peristiwa berjalan secara runtun dari awal penceritaan perkenalan Minke dengan Annelies sampai kemudian mereka berdua berpisah.
Tenik ingatan: Minke menceritakan semua kejadian yang dialaminya, layaknya orang yang sedang menulis catatan harian.

Latar
a. Latar tempat
Orang menganggap rumahnya sebuah istana pribadi, sekali pun hanya dari kayu jati. Dari kejauhan sudah Nampak atap sirapnya dari kayu kelabu. Pintu dan jendela terbuka lebar. Berandanya tidak ada. Sebagai gantinya sebuah konsol cukup luas dan lebar melindungi anaktangga kayu yang lebar pula, lebih lebar daripada pintu depan.
b. Latar waktu
 Pagi itu sangat indah memang. Langit biru cerah tanpa awan.
c. Latar sosial
 Dan aku ragu. Haruskah aku ulurkan tangan seperti pada wanita Eropa, atau aku hadapi dia seperti wanita Pribumi- jadi aku harus tidak peduli?
 Dia hanya seorang nyai-nyai, tidak mengenal perkawinan syah, melahirkan anak-anak tidak syah, sejenis manusia dengan kadar kesusilaan rendah………..
 Kompeni Belanda tidak pernah mengistirahatkan senapan dan meriamnya, selama tiga ratus tahun di Hindia. Tiba-tiba ada seorang Eropa yang mengharapkan diri jadi perintis, pemuka, contoh bangsa. (Sebenarnya waktu iu ada beberapa di antara orang Belanda yang memperhatikan keadaan Pribumi)
 Max Tollenaar adalah nama-penaku. Judul asli telah diubah dan di dalamnya juga terdapat perbaikan redaksi, yang tidak semua aku setujui.

Gaya Bahasa
a. Diksi
Dalam novel ini, pemilihan kata atau diksi yang paling menonjol adalah penggunaan bahasa Jawa pada beberapa bagian dalam novel ini, misalnya : sinyo, ndoro, raden mas, kebo giro, mbedah praja mboyong putri, wisma, turangga, kukila, curiga, dan lainnya.
b. Citra Imaji
Pencitraan atau pengimajian yang terdapat di dalam novel ini antara lain :
 Citraan penglihatan : Di pojokan berdiri seperangkat mejamakan dengan enam kursi. Di dekatnya terdapat tangga naik ke loteng.
 Citraan penciuman : Bau susu sapi memenuhi ruangan.
 Citraan pendengaran : Terdengar suara sepatu berjalan menyeret pada lantai. Makin lama makin jelas. Makin dekat.
 Citraan taktil : Darahku naik ke kepala mendengar itu. bibirku menggeletar kering. Aku melangkah pelahan mendekatinya dan sudah siap hendak mencakar mukanya.
 Citraan perabaan : Tanganku diraih dan dipegangnya. Tangannya agak gemetar.
c. Majas
 Personifikasi : Ilmu pengetahuan telah memberikan padaku suatu restu yang tiada terhingga indahnya. Jaringan jalan keretaapi membelah-belah pulauku, Jawa. Pandang dua pemuda itu terasa menusuk punggungku.
Butir-butir air yang kelabu itu merajai segalana.
 Asindeton : Keretaapi – kereta tanpa kuda, tanpa sapi, tanpa kerbau,….
Pemandangan tambah lama tambah membosankan: tanah gersang, kadang kelabu, kadang kuning keputihan.
 Hiperbola : Kehebatannya menandingi kesaktian para satria dan dewa nenek moyangku dalam cerita wayang. Sekarang aku malu terpental-pental. Pikiranku mulai gila bergerayangan. Ia terus menggerutu seakan sedang jadi pengawal langit jangan sampai merobohi bumi.
 Sinekdoke : Jerman malah sudah membikin kereta digerakkan listrik.
 Metafora : Di kejauhan sana samar-samar nampak gunung-gemunung berdiri tenang dalam keangkuhan, seperti pertapa berbaring membatu.
 Simile : Matanya bak sepasang kejora bersinar di langit cerah.
 Alegori : Jantungku mendadak berdebaran ibarat laut diterjang angin barat.
 Simbolik : Dia telah menjadi hewan yang tak tahu lagi baik daripada buruk.
 Pleonasme : Ia berkaca dan melihat dirinya sendiri.
 Anti klimaks : Para lurah, wedana, mantri, polisi, menyerbu pendopo.
 Elipsis : Darsam! (maksudnya adalah memanggilnya untuk menghadap)
 Paradoks : Nampaknya guru-guruku, dengan adanya bendi mewah itu, lebih banyak memperlakukan aku sebagai orang tak dikenal dan sama derajat.

Gaya Penceritaan
Penceritaan dalam novel ini, pengarang sebagai pencerita intern. Pengarang hadir di dalam teks sebagai tokoh utama Minke, jadi menggunakan kata ‘Aku’. Pengarang menyebut tokoh-tokoh dengan kata ganti orang kedua, ketiga atau menyebut nama. Pengarang menggunakan sudut pandang took dan kata ganti orang pertama, mengisahkan apa yang terjadi dengan dirinya dan mengungkapkan perasaannya sendiri dengan kata-katanya sendiri.
Selain itu pengarang juga menggunakan sudut pandang ‘Aku’ pada tokoh lain tetapi hanya sebagai gambaran sekilas saja, misalnya :
Juga karenamengutamakan ururtan waktu aku susun bagian ini dari bahan yang kudapat dari pengadilan di kemudian hari. Sebagian terbesar didasarkan pada jawaban-jawaban Maiko melalui penterjemah tersumpah dan kutulis dengan kata-kataku sendiri.
“Aku datang dan berasal dari Nagoya, Jepang, ke Hongkong sebagai pelacur. Majikanku seorang Jepang, yang kemudian menjual diriku pada seorang majikan Tionghoa di Hongkong”…………………………

Amanat
Novel yang dilatarbelakangi pergerakan Indonesia di awal abad 20 ini, menceritakan pergerakan, perjuangan, dan semangat pemuda Indonesia di masa itu. Pengarang menyerukan agar pemuda-pemudi sekarang ini tetap mempunyai semangat itu meskipun sekarang sudah tidak ada penjajahan kolonial.
“Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”
- Pramoedya Ananta Toer -

Analisis Sosiologi Sastra
Wilayah sosiologi sastra cukup luas. Wellek dan Warren (1993: 111) membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi yaitu:
a. Sosiologi pengarang: yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang.
b. Sosiologi karya sastra: yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra; yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya;
c. Sosiologi sastra: yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.



Berdasarkan penjelasan di atas, analisis sosiologi sastra novel Bumi Manusia adalah sebagai berikut :
Sosiologi Pengarang
Pramoedya Ananta Toer lahir pada 1925 di Blora, Jawa Tengah. Hampir separuh hidupnya dihabiskan dalam penjara – sebuah wajah peradaban yang paling purba bagi manusia-manusia bermartabat: 3 tahun dalam penjara Kolonial, 1 tahun di Orde Lama, dan 14 tahun yang melelahkan di Orde Baru.
Penjara tak membuatnya berhenti untuk menulis, Baginya, menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Dan ia konsekuen terhadap semua akibat yang ia peroleh. Berkali-kali karyanya dilarang dan dibakar.
Tetralogi Buru ditulis Pram waktu masih mendekam di kamp kerjapaksa tanpa proses hukum pengadilan di Pulau Buru, sebelum ditulis roman ini oleh Penulis diceritaulangkan pada teman-temannya di Pulau Buru. Hal ini mengisyaratkan bahwa Penulisnya bukan hanya sekedar menulis dan membumbungkan imajinasi semata, tetapi dengan penguasaan pendalaman cerita yang dimaksud – dengan penulusuran dokumen pergerakan awal abad 20.
Pram memang tidak menceritakan sejarah sebagaimana terwarta secara objektif dan dingin yang selama ini diampuh oleh orang-orang berpendidikan. Pram juga berbeda dengan penceritaan kesilaman yang lazim sebagaimana tertulis dalam buku-buku pelajaran sekolah yang memberi jarak antara pembaca dan kurun sejarah yang diceritakan. Dengan gayanya sendiri, Pram coba mengajak, bukan saja ingatan, tapi juga pikir, rasa, bahkan diri untuk bertarung dalam golak gerakan nasional awal abad 20. Karena itu gaya kepengarangan dan bahasa Pram yang khas, pembaca diseret untuk mengambil peran di antara tokoh-tokoh yang ditampilkannya.

Sosiologi Karya Sastra
Tetralogi Buru mengambil latar belakang dan cikal bakal nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20. Dengan membacanya waktu kita dibalikkan sedemikian rupa dan hidup di era membibitnya pergerakan nasional mula-mula, juga pertautan rasa, kegamangan jiwa, percintaan, dan pertarungan kekuatan anonim yang kemudian kelak melahirkan Indonesia modern.

Sosiologi Sastra
Hadirnya roman sejarah ini, bukan saja menjadi pengisi sebuah episode berbangsa yang berada di titik persalinan yang pelik dan menentukan, namun juga mengisi isu kesusastraan yang sangat minim menggarap periode pelik ini, karena itu hadirnya roman ini memberi bacaan alternatif kepada kita untuk melihat jalan dan gelombang sejarah secara lain dari sisinya yang berbeda.

Kamis, 19 November 2009

Kesanku

Kesan itu akan slalu ada
Terpatri dalam ingatan
Mengendap dalam jiwa
Tertulis dalam setiap lembaran

Pertemuan yang mengesankan
Menumbuhkan benih api dalam hati
Dan membakar ruang batinku

KEBAYA SEBAGAI WARISAN BUDAYA INDONESIA

Sejarah dan Perkembangan Kebaya di Indonesia
Terlepas dari teori asal usul bahasa kita dapat memahami bahwa kebaya terdapat pada beberapa negara yang terletak di bagian utara kepulauan Indonesia. Dengan kata lain busana jenis ini banyak terdapat pada daerah-daerah yang terkena ekspansi Arab maupun Portugis. Negara-negara yang juga memiliki kebaya seperti Cina, Thailand dan Filipina disamping Negara-negara Eropa, yang tentunya setiap Negara memiliki kekhasan masing-masing dalam rancangan kebaya mereka.
Perkembangan kebaya modern saat ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh penyebaran agama Islam yang terjadi pada abad ke-15. Terdapat dugaan yang cukup kuat bahwa budaya Islam cukup berpengaruh pada siluet-siluet kebaya, sehingga diperkirakan kebaya pada awalnyamerupakan atasan panjang berbentuk tunik sederhana yang menjulur dari leher hingga lutut (baju kurung). Pakaian semacam ini yang kemudian menggeser beberapa kebiasaan busana yang lain, walupun dalam keadaan tertentu keadaan busana sebelum kebaya masih banyak dipergunakan. Dokumentasi lama sekitar abad 19, milik keluarga kerajaan dan keraton baik Surakarta, Yogyakarta maupun Cirebon masih memiliki rekaman akan kebaya panjang ini, tentu dengan beberapa ornamen kenegaraan yang terpasang di beberapa sisi. Sementara bros dengan serangkai atau tiga berjajar terdapat pada bagian depan membentuk suatu penutup. Bahan awal kebaya pada masa ini adalah katun kasar dan tenun tradisional. Akan tetapi seiring dengan masuknya koloni Eropa ke Indonesia yang berakibat terbukanya jalur perdagangan tekstil antar Negara, maka bahan untuk membuat kebaya pun beralih menjadi beludru, sutra dan katun halus.
Menurut Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: silang Budaya (1996) Kebaya berasal dari bahasa Arab ‘Kaba’ yang berarti ‘pakaian’ dan diperkenalkan lewat bahasa Portugis ketika mereka mendarat di Asia Tenggara. Kata Kebaya diartikan sebagai jenis pakaian (atasan/blouse) pertama yang dipakai wanita Indonesia pada kurun waktu abad ke-15 atau ke-16 Masehi. Argumen Lombard tentu berterima terutama lewat analogi penelusuran lingustik yang toh sampai sekarang kita masih mengenal ‘Abaya’ yang berarti tunik panjang khas Arab. Sementara sebagian yang lain percaya Kebaya ada kaitannya dengan pakaian tunik perempuan pada masa kekasiran Ming di Cina, dan pengaruh ini ditularkan setelah imigrasi besar-besaran menyambangi semenanjung Asia Selatan dan Tenggara di abad ke-13 hingga ke-16 Masehi.
Terlepas dari asal usulnya yang Arab, atau Portugis, atau Cina, kita mahfum bahwa penyebarannya memang dari arah utara kepulauan Indonesia. Artinya, negara-negara yang terlewati oleh ekspansi ala Arab, Portugis, dan Cina bisa jadi memiliki versi kebayanya masing-masing. Dan akhirnya, Jawa menjadi destinasi penyebaran paling selatan, karena tidak ditemukan jejaknya lagi di kepulauan Pasifik barat atau semenanjung utara Australia. Artinya lagi, kali ini, Malaysia bisa dengan bebas mengklaim Kebaya sebagai salah satu pusaka tradisinya. Tentu tanpa mengatakan kalau jenis pakaian ini asalnya dari Malaysia—karena itu terdengar sangat bodoh.
Dalam novel kuartet Gajah Mada, Langit Kresna Hariadi menulis: “Sri Gitarja menjawab sambil mengusap air mata menggunakan lengan baju”. (Gajah Mada Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara hal 336, paragraf ke-3, baris ke-5). Asumsinya, jika tuan putri Sri Gitarja dapat mengusap air matanya dengan lengan baju berarti lengan baju yang beliau pakai adalah lengan panjang hingga-minimal-mendekati pergelangan tangan. Kemungkinan terbesar adalah jenis pakaian wanita kebaya. Sayangnya, hal ini bisa saja keliru karena Kebaya masih menjadi benda asing di masa ini. Masyarakat Jawa kala itu lebih mengenal kain panjang, tenun, ikat dan kemben sebagai busana sehari-hari. Ada juga yang berpendapat bahwa, masa-masa ini Kebaya terbatas dikenakan di kalangan kerajaan saja. Sayangnya, bukti-buktinya sangat lemah. Kain yang berbahan serat alam di negeri tropis seperti Indonesia mudah sekali hancur hanya karena kelembaban, cuaca, hingga mikroorganisme pemakannya. Bukti yang juga tidak bisa dikatakan kuat adalah arca-arca dan relief yang dipahat di sebagian besar bangunan kuno abad ke-13 hingga 15. Namun, tidak ada pola atau gambaran nyata yang mengindikasikan adanya Kebaya di masa itu.
Kita perlu menilik penyebaran dan masuknya Islam di Indonesia (abad ke-15) untuk mengetahui perkembangan kebaya modern saat ini. Keislaman sangat kuat memengaruhi siluet kebaya di awal-awal perkembangannya. Dugaan kuat mengatakan Kebaya awalnya merupakan atasan panjang berbentuk tunik sederhana yang menjulur dari leher hingga lutut (baju kurung). Hal ini mengingatkan kita akan abaya dan kebaya Melayu. Pakaian semacam ini serta-merta menggeser kemben tradisional. Di beberapa pelosok Indonesia bahkan bisa ditemukan wanita yang tampil tanpa atasan apapun (Bali, Lampung, Jawa). Kebiasaan berbusana macam itu juga ikut tergeser, meski dalam beberapa acara adat harus berbusana seperti itu lagi, terutama di Bali. Dokumentasi lama milik keluarga kerajaan dan keraton (Surakarta, Yogyakarta, Cirebon) di tanah Jawa masih merekam kebaya panjang ini dengan beberapa ornamen kenegaraan yang terpasang di beberapa sisinya (abad ke-19). Gelang dan jam dikenakan diluar lengan kebaya, sementara bros serangkai (tiga berjajar) tersemat di bagian depan membentuk suatu penutup. Jenis ini akhirnya merambah permainan bahan. Katun kasar dan tenun tradisional tentu saja menjadi cikal bakalnya. Namun beludru, sutra, dan katun halus kemudian menggantikan bahan-bahan keras tadi sesuai dengan masuknya koloni Eropa ke Indonesia dan membuka jalur perdagangan tekstil antar negara (sejak abad ke-18).
Kesesuaian selanjutnya bertitik tolak dari pola dan corak. Modifikasi, inovasi, dan kreatifitas membawa angin segar fesyen Kebaya masa ini. Ia bagaikan lepas tanpa ikatan. Putu baru, kebaya tunik pendek hingga tlisman mengemas banyak warna dan permainan motif yang cantik di awal abad ke-19. Kurun abad ke-19 dan masa pergerakan di awal abad 20 adalah kala gemilang bagi Kebaya. Kebaya berada di masa yang marak dikenakan masyarakat Indonesia, juga kaum pendatang Eropa dan Cina dengan ragam penyesuaiannya. Sebelum dikelas-kelaskan, Kebaya yang hampir merata dipakai oleh kaum perempuan Indonesia begitu lazimnya hingga kreasi-kreasi khusus dilakukan oleh kaum bangsawan dan dalam istana. Kebaya bangsawan dan keluarga Kraton terbuat dari sutra, beludru, dan kain tebal berornamen (brocade); golongan awam mengenakan bahan katun dan tenun kasar; kaum keturunan Eropa biasanya mengenakan kebaya berbahan katun halus dengan aksen lace (brokat) di pinggirnya; sedangkan untuk perempuan Belanda mengenakan kebaya katun dengan potongan yang lebih pendek. Saat itu bahkan banyak orang Eropa dan Belanda sendiri membeli aneka kebaya di Nederland. Masa ini Kebaya mulai disusupi unsur sinkretisme kelas. Ada Kebaya Keraton dan Bangsawan yang berornamen benang emas (sulam gim) dengan bahan beludru. Potongan khusus yang dipakai oleh perempuan kelas atas juga memberi bekas yang nyata seperti halnya kebaya Kartini. Pakem-pakem mulai terbentuk. Pola-pola tertentu dibatasi dalam garis darah biru. Kebaya mulai dikaplingkan dalam kelas-kelas kasta yang paradoksal.
Nasionalisme merebak tahun 1920-an. Organisasi-organisasi tradisional Indonesia maupun bentukan pemerintahan Hindia Belanda menyerukan nasionalisme dengan lantang. Kondisi politik saat itu juga memengaruhi preferensi fesyen masyarakatnya. Kebaya yang terlanjur Nasional dianggap bercitra pribumi dengan segala perjuangannya. Wanita keturunan Eropa dan Belanda meninggalkan kebaya sebagai pakaian sehari-hari mereka karena citra tradisional yang indigenous tadi. Periode ini meminimasi perkembangan fesyen Kebaya. Hampir tidak ada inovasi material yang signifikan, apalagi bentukan dan pola siluetnya. Kondisi seperti ini berlangsung hingga dua dekade berikutnya sampai yang terburuk tiba.
Periode 1942-1945 adalah yang terburuk dengan catatan paling minim tentang keadaan Indonesia, termasuk fesyennya. Perempuan di masa pendudukan Jepang jatuh di tempat paling rendah sepanjang sejarah. Tanpa kecuali; pribumi, keturunan Eropa, keturunan Cina, dan Belanda dijebloskan di penjara dan dipekerjakan dengan keras. Kebaya dipakai oleh tahanan perempuan Indonesia, sedangkan kemeja dan terusan dikenakan oleh keturunan Eropa dan Belanda. Peraturan tidak tertulis ini, entah bagaimana, berlaku hampir di setiap kamp-kamp tahanan Jepang. Di sini, Kebaya bersifat pribumi, lainnya koloni. Jangan berfikir tentang inovasi, produksinyapun jatuh mengenaskan. Kenyataannya, pendudukan Jepang di Indonesia juga memutus jalur perdagangan tekstil dan perlengkapan penunjangnya. Banyak rumah produksi kebaya tutup. Perusahaan kain Batik yang marak di periode itu juga wajib membuat solusi padat karya untuk sekedar bertahan. Solusi yang paling banyak dianut adalah merger antar beberapa perusahaan kecil yang membuat kain batik, kebaya, dan industri konveksi rumahan. Tapi tidak berdampak banyak bagi perkembangan fesyen masa itu. Perubahan suhu politik terjadi tiap jam. Perang Dunia ke-II adalah masa-masa kelam bagi fesyen tanah air, bahkan dunia. Kecuali Chanel dan Hugo Boss yang memang kekasih fasis kala itu, banyak rumah mode di dunia mengalami kemunduran.
Lagi-lagi faktor politik berkecamuk. Revolusi besar kemerdekaan Indonesia tahun 1945 membawa Kebaya pada konstelasi nasionalis yang lebih absolut. Dari sekedar tradisional yang pribumi, Kebaya menjalar menjadi nasionalis dan bernafas kemerdekaan. Para wanita terdidik yang dekat dengan pemerintahan Soekarno saat itu banyak mengenakan aneka kebaya, terutama jenis putu baru dan Kebaya encim yang masih ada jejaknya sekarang ini. Sebagian orang menanggapi kondisi ini sebagai masa-masa keemasan Kebaya sampai tahun 1960-an. Hampir semua wanita, baik itu di kantor, di rumah, di manapun tampil berkebaya. Citra nasional yang dibawa Kebaya begitu kuatnya, tetapi melekat pada kaum aristrokrat tertentu yang berpihak pada Soekarno. India, Cina, dan sebagian Asia Tenggara mendominasi pasar tekstil Indonesia. Sentimen Barat pada Soekarno, dan sentimen Soekarno sendiri pada Barat membatasi jalur pertukaran komoditi Eropa dan Indonesia. Yang terlihat adalah aneka corak dan warna-warna Kebaya yang beragam. Potongan dan pola-pola lama kembali meruak meski masih memegang pakem-pakem yang tercipta dari abad sebelumnya.
Belum pulih benar Kebaya dari trauma politiknya, ia harus mengalami sekali lagi pukulan itu. Peralihan kekuasaan dari tangan Soekarno ke pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto tahun 1965 menempatkan Kebaya di posisi lemah. Citra-citra dan simbol-simbol yang diemban Kebaya di masa Soekarno membuat ia dijauhi. Kaum perempuan yang merasa tidak terlibat dengan gejolak politik Orde Lama (Soekarno) memilih untuk tidak mengenakan Kebaya. Terusan modern dan kemeja-kemeja wanita lebih digemari ketimbang Kebaya. Perlahan namun pasti, Kebaya tersingkir dalam kotak eksklusif Dharmawanita (organisasi wanita istri pegawai negeri yang terbentuk sejak tahun 1974). Dengan warna jingga salem-nya, Kebaya menjadi seragam resmi organisasi ini.
Hingga tahun 1980-an Kebaya semakin terkucil di kalangan istri Militer dan pegawai negeri, meski beberapa desainer lokal macam Iwan Tirta mencoba melestarikannya. Kabar baiknya adalah peran informasi dan pertukaran komoditi antar negara kembali terbuka lebar. Tinggal bagaimana tangan-tangan kreatif anak Bangsa memanfaatkannya. Tidak memakan waktu lama, awal tahun 90-an Ghea Panggabean melakukan eksperimen berarti pada Kebaya. Dalam lingkup kelas atas, Ia memanfaatkan bahan sutra organdi dan serat-serat alam lain yang tergolong mewah menjadi Kebaya. Di kalangan elit dan perempuan berpendidikan, Kebaya macam ini, yang kemudian banyak juga dikembangkan oleh desainer lokal lain, memiliki predikat khusus. Ia sah digunakan di acara-acara formal baik bersifat pribadi, keluarga, maupun kenegaraan.
Tahun 90-an pula Kebaya mulai mendapat tempat yang lebih luas. Bahkan dipandang mempunyai janji ekonomi yang besar. Desainer-desainer Indonesia sepakat, Kebaya adalah genre khas dari dunia fesyen yang menjanjikan. Mereka mulai meliriknya, memelajarinya, dan kemudian berkreasi dengannya. Kuncinya adalah inovasi! Sepertinya tuntutan kreasi dan aksentuasi dari para pemakai juga menjadi faktor besar yang mendorong Kebaya kembali ke era abad-19—masa dimana Kebaya punya kebebasan untuk berkembang.
Setelah 32 Tahun memerintah Indonesia, Soeharto undur. Reformasi membawa angin segar sekaligus liar. Untuk beberapa alasan, hal ini baik. Banyak pranata yang dijungkirbalikan. Reformasi dipahami sebagai era kebebasan. Keterbukaan pikiran menjadi titik tolak semua kegiatan di masa-masa 1997-2002. Kreatifitas tak terbendung yang dicontohkan oleh para pemimpin setelah Soeharto dan dunia politik juga diikuti masyarakatnya. Kekangan adalah barang haram di masa ini. Digalilah kreasi-krasi baru yang segar dari banyak sumber untuk mempercantik Kebaya. Kita harus mencermati trend brokat (lace), bordir, teknik aplikasi, drapery, dan pencampuran bahan sebagai cikal bakal revolusi Kebaya di tahun 2000-an.
Yang tandang dengan banyak ide, dia yang menang. Dunia pernikahan, pertemuan formal kenegaraan, hingga acara-acara eksklusif yang mengusung citra Indonesia secara konsensus-tersembunyi mewajibkan Kebaya sebagai kode busananya. Hal ini kemudian memancing kompetisi antar desainer. Secara pola, siluet, cutting, dan garis luar berubah beragam-ragam. Bagai bola liar, perubahan besar itu juga diikuti dengan pemanfaatan bahan baku. Keluar dari sekedar organza dan katun, Kebaya merambah ke jalur sutra, sifon, shantung, lace, hingga serat-serat yang tak terbayangkan sebelumnya seperti jute, nanas, pisang, dan unsur metal. Teknik bordir, renda, pilin, lipit, layer hingga quilt ikut mewarnai kemegahan Kebaya. Hingga akhirnya pemanfaatan material mewah macam payet, kristal, batu-batu mulia dan bulu binatang (ostrich’s feathers/cincila fur) hadir bersama taknik aplikasi yang revolusioner. Dengan teknik yang satu ini, kreasi tanpa batas sangat mungkin dikerjakan. Teknik aplikasi membuka kesempatan Kebaya sebagai benda seni yang bisa dihiasi apa saja—bahkan berlian jika memungkinkan. Lewat banyak teknik dan potongan, material dan bahan, sampai aksesorisnya, Kebaya tercipta sebagai karya seni. Bahkan ada satu Kebaya yang memiliki berat hingga 22 Kg, karena kerumitan detail yang melekat padanya. Kebaya memasuki masa revolusinya sendiri. Ia kini, seperti banyak masyarakat Indonesia era 2000-an, punya daya pandang dan tempatnya masing-masing. Tanpa harus terpengaruh imbas politik, ekonomi, bahkan adat istiadat. Kebaya semata-mata menganut faham kreatifitas yang feminis.
Lahirnya Kebaya-kebaya karya Anne Avantie, Marga Alam, Adjie Notonegoro, Biyan Wanaatmadja, Sebastian gunawan hingga perancang-perancang muda seperti Priyo Oktaviano, Rusly Tjohnardi, Ferry Sunarto dan banyak lagi adalah bukti revolusi Kebaya itu. Kebaya karya desainer-desainer tadi menghujam kuat di kancah lokal dan menghentak khasanah internasional. Pagelaran-pagelaran fesyen Kebaya, persaingan, kritik dan pujian-pujian memberi dampak yang sangat membangun. Aksi tutup mata atas pakem tradisional yang dihembus-hembuskan beberapa orang membuat karya Kebaya meroket ke arah yang sama sekali tak terduga. Ia kini lebih dari sekedar identitas, Kebaya juga sebuah komoditi dan jati diri bangsa Indonesia. Kebaya Indonesia muncul lewat siluet ultra feminin. Ia memeluk tubuh wanita, membuatnya bersinar, dan melekuk sempurna. Tidak dan belum bisa ditemukan di tempat lain, bahkan tempat-tempat yang dipercayai sebagai cikal bakal Kebaya tersebut menulari Indonesia. Mungkin, Kebaya akan segera memasuki kosa-kata Inggris seperti Batik dan Ikat. Kalau sudah begitu, tidak ada yang bisa menggoyahkan posisi Kebaya di Indonesia. Kebaya mencapai kemuliaan seni yang tertinggi di negeri Ini.

Perubahan yang Dialami Kebaya
Kembali pada masa ke-emasannya yaitu sekitar abad 19, adalah inovasi dan aksentuasi. Respon yang cukup baik pada kebaya ini ditanggapi oleh para desainer Indonesia, dengan terus mengembangkan ide-ide kreatif mereka akan kebaya.
Beberapa perubahan dialami oleh kebaya, antara lain:
1. Pola, terdapat perubahan teknik, seperti:
• Siluet
• Cutting
• Garis luar
2. Dari segi bahan
• Lace atau Brokat
Bahan ini banyak diproduksi oleh Negara Prancis, namun saat ini juga banyak diproduksi oleh Negara-negara seperti India dan Indonesia. Oleh karena itu kain brokat yang memiliki kualitas yang baik harganya juga cukup mahal. Pola-pola yang dimiliki masih berkisar pada motif floral dan masih jarang untuk menggunakan motif abstrak.
• Sutra
Terdapat 2 jenis sutera, yaitu sutera alam yang berasal dari kepompong ulat sutera dan sutera buatan. Bahan sutera ini sangat lembut dikulit, menyerap keringat serta memiliki warna yang tahan lama. Bahan ini termasuk bahan yang cukup digemari dalam berbusana. Bahan ini juga terdapat dengan motif batik tradisional.
• Sifon
Sifon merupakan bahan yang sangat lembut, halus, transparan dan jatuhnya mengikuti bentuk badan. Karena sifat jatuhnya ini, maka bahan ini sangat tidak disarankan untuk orang yang memiliki badan gemuk. Kain ini cocok digunakan sebgai selendang, vell atau pelengkap kebaya lainnya.
• Tule
Kain ini digunakan untuk kombinasi untuk busana yang lebih modern, misalnya:digunakan untuk aksen pada bagian leher, pergelangan tangan dan ujung-ujung baju. Aksen biasanya dilakukan dengan cara mengerutkan kain agar terjadi tumpukan disuatu area tertentu.
• Kain Tenun/ Sarong
Indonesia cukup kaya akan kain tenun yang berasal dari berbagai daerah, seperti: kain tapis dari Lampung, Kain songket dari Palembang, Ulos dari Batak dan masih banyak lagi. Dengan keunikan tersendiri yang dimiliki, padu padan kain tenun dan kebaya akan menjadi kombinasi yang unik dan menarik.

Jenis-jenis Kebaya di Indonesia
Apabila ditelusuri menurut awal perkembangan hingga akhirnya, kebaya dapat dibeda-bedakan. Hal ini disesuaikan dengan jaman perkembangan kebaya itu sendiri. Beberapa orang mengetahui sebagai:
• Kebaya tradisional
Kebaya ini merupakan cikal bakal kebaya pada umumnya. Terdapat dua jenis model kebaya antara lain kebaya kartini dan kebaya kutu baru. Kedua kebaya inilah yang pada akhirnya berkembang menjadi kebaya- kebaya lain seperti kebaya encim dan kebaya modern yang ada sekarang ini.
• Kebaya encim.
Dari segi namanya saja sudah memiliki unsur adanya budaya Cina. Encim merupakan sebutan bagi wanita paruh baya dalam keturunan bangsa Cina. Kebaya ini berbahan dasar kain yang cukup halus dengan sentuhan border, payet dan pelipit yang menghiasi salah satu bagiannya. Kebaya jenis ini banyak digunakan perempuan etnis Cina yang dahulu tinggal
• Kebaya modern.
Sesuai dengan namanya kebaya modern merupakan kebaya dengan sentuhan yang lebih modern. Bentuk serta pola sudah tidak mutlak seperti kebaya asli. Sudah terdapat perubahan pada beberapa bagian- bagiannya termasuk dalam hal hiasan, bahan, corak dan mode sudah mulai mengikuti tren yang ada. Salah satu yang termasuk dalam kebaya ini adalah kebaya modifikasi. Banyak perancang busana tradisonal yang menggunakan kebaya modifikasi ini sebagai alternatif dari rancangan-rancangan mereka. Hasilnya ditangan anak negeri, sebuah budaya Indonesia yang mampu menarik perhatian bangsa asing.

Aneka ragam Aksesoris Kebaya
Untuk mempercantik baju kebaya, desainer masa kini menggunakan beberapa aksesoris, antara lain :
• Payet
Payet yang biasa-biasa saja akan lebih terlihat semarak dan glamor ndengan tambahan payet yang terbuat dari bahan sintetik. Kebaya modern klasik banyak menggunakan aplikasi payet sehingga membuat motif kebaya terklihat megah dan anggun. Dengan desain dan teknis yang tepat kebaya yang berbahan lain biasa dapat tampil dengan lebih semarak dan glamor.
• Beads
Beads menyerupai sifat dan fungsi yang hampir sama dengan yang dimiliki oleh Payet. Tersedia dalam aneka warna, harga yang terjangkau dan mudah diperoleh. Beads sangat cocok untuk diaplikasikan pada desain kebaya pesta atau malam hari.
• Kristal
Kristal digunakan untuk menambah megah tampilan kebaya. Kristal merupakan tiruan dari batu mulia, selain itu Kristal juga dibedakan meurut bahan pembuatannya, seperti Kristal kaca dan Kristal plastic yang transparan.
• Batu mulia
Harga dan kondisi yang cukup berat membuat bahan ini jarang diaplikasikan pada kebaya. Biasanya batu mulia yang berusia relatif muda atau batu semi-mulia lebih banyak digunakan, seperti: kecubung, safir muda, akik dan masih banyak lagi
• Bulu-bulu binatang
Bulu dapat memberikan kesan hangat, modern dan glamor. Meskipun tidak banyak diaplikasikan dalam pakaian kebaya, akan tetapi beberapa desainer telah memanfaatkannya untuk memberikan kesan modern, feminin dan mewah.

Cara-cara Perawatan Kebaya
Kebaya yang lama dapat tetap awet jika melalui proses perawatan yang benar. Bahkan mungkin kebaya tersebut dapat menjadi warisan atau peninggalan hanya saja perlu beberapa tambahan agar kebaya tersebut tampil lebih sempurna. Beberapa tahapan merawat kebaya, yaitu;
• Kebaya, terutama kebaya baru sebaiknya dicuci setelah 3-5 kali pemakaian
• Tidak menggunakan mesin untuk mencucinya. Kebaya cukup dicuci dengan tangan namun harus tetap hati-hati supaya konstruksi yang dimilikinya tidak berubah
• Mencuci kebaya dengan sabun yang lembut atau pelembut saja jika terkena noda. Tujuannya hanya untuk menghilangkan bau setelah seringnya pemakaian.
• Sebaiknya tidak memeras kebaya setelah proses pencucian, cukup langsung digantung saja.
• Supaya tidak terjadi perubahan warna atau pemudaran warna, maka sebaiknya tidak menjemur kebaya dibawah sinar matahari langsung.
• Menyesuaikan panas dengan bahan yang digunakan, ketika akan menyetrika kebaya.
• Kebaya yang telah digunakan sebaiknya diangin-anginkan saja
• Penjemuran kebaya tidak boleh terlalu lama, sebaiknya segera disimpan di dalam lemari
• Gantungan sebaiknya terbuat dari kain atau kertas sehingga koleksi lebih rapi dan mudah untuk ditata
• Kebaya yang berbahan tipis sebaiknya dimasukkan dalam kotak saja dan diberi pewangi.
• Dalam sebulan sekali kebaya dikeluarkan dari dalam kotak atau lemari untuk diangin-anginkan. Hal ini bertujuan menghindari bau tidak sedap yang menempel pada kebaya.
• Selendang atau kain yang lembut sebaiknya disimpan dalam tas kain agar lebih rapi dan awet.

Senin, 29 Juni 2009

TAHAP PERKEMBANGAN BAHASA

TAHAP PERKEMBANGAN BAHASA

PADA ANAK BERUSIA DUA TAHUN

Oleh Yuniar Siti Wahyuni

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian bahasa kanak-kanak pada perkembangan pra-sekolah. Subjek penelitian adalah seorang anak berusia dua tahun yang berasal dari kabupaten Bandung. Data yang digunakan adalah data autentik dari hasil pengamatan bahasa pada anak tersebut. Penelitian yang akan dibahas adalah tahap perkembangan bahasa anak yang berupa tuturan dua kata yang bersifat telegrafis, yaitu hanya mengucapkan kata-kata yang mengandung arti yang paling penting.

PENDAHULUAN

Selama masa awal kanak-kanak, seorang anak memiliki keinginan yang kuat untuk belajar berbicara. Hal ini disebabkan karena dua hal. Pertama, belajar berbicara merupakan sarana pokok dalam sosialisasi. Kedua, belajar berbicara merupakan sarana untuk memperoleh kemandirian. Anak-anak yang tidak dapat mengemukakan keinginan dan kebutuhannya, atau yang tidak dapat berusaha agar dimengerti orang lain cenderung tidak berhasil memperoleh kemandirian yang diinginkan.

Pemerolehan bahasa tiap-tiap anak berbeda, tergantung kemampuan anak tersebut. Seorang anak tentu saja mempunyai tahapan-tahapan dalam memperoleh kemampuan bahasa tersebut.

Menurut Aitchison (1984), tahap kemampuan bahasa anak adalah sebagai berikut :

Tahap 1. Menangis

Menangis pada bayi mempunyai beberapa makna, seperti tangisan untuk minta minum, minta makan, tangisan karena kesakitan, dan sebagainya.

Tahap 2. Mendekur

Mendekur sebenarnya sulit dideskpripsikan, karena bunyi yang dihasilkan mirip dengan vokal, tapi hasil bunyi itu tidak sama dengan bunyi vokal yang dihasilkan orang dewasa. Tampaknya dengan mendengkur si bayi melatih peranti alat ucapnya.

Tahap 3. Meraban

Secara bertahap, bunyi konsonan akan muncul pada waktu anak itu mendekur dan ketika anak mendekati enam bulan, ia masuk pada tahap meraban. Secara impresif anak menghasilkan vokal dan konsonan secara serentak.

Tahap 4. Pola Intonasi

Pada usia delapan atau sembilan bulan, anak mulai menirukan pola-pola intonasi. Hasil tuturan anak mirip dengan yang dikatakan oleh ibunya. Anak tampaknya mencoba menirukan percakapan dan hasilnya adalah tuturan yang kadang-kadang tidak dipahami oleh orangtuanya atau orang dewasa yang lain.

Tahap 5. Tuturan satu kata

Antara umur satu tahun dan delapan belas bulan anak mulai mengucapkan tuturan satu kata. Jumlah kata yang diperoleh bervariasi tergantung masing-masing anak.

Tahap 6. Tuturan dua kata

Pada tahap ini tuturan bersifat telegrafis, yaitu mengucapkan kata-kata yang mengandung arti paling penting.

Tahap 7. Infleksi kata

Secara gradual, kata-kata yang dianggap remeh atau tidak penting mulai digunakan. Infleksi kata juga mulai digunakan. Kata-kata yang dianggap remeh dan infleksi itu mulai merayap di antara kata benda dan kata kerja yang digunakan oleh anak.

Tahap 8. Bentuk tanya atau bentuk ingkar

Pada tahap ini anak sudah mulai memperoleh struktur kalimat yang lebih rumit.

Tahap 9. Konstruksi yang jarang dan kompleks

Pada usia lima tahun, anak secara mengesankan memperoleh bahasa. Kemampuan bahasa terus berlanjut meskipun agak lamban. Tata bahasa anak berusia lima tahun berbeda dengan tata bahasa orang dewasa. Tetapi lazimnya mereka tidak menyadari kekurangan mereka dalam hal itu.

Tahap 10. Tuturan yang matang

Perbedaan tuturan anak dengan tuturan orang dewasa secara pelan-pelan akan berkurang ketika usia anak itu semakin bertambah. Ketika usianya mencapai sebelas tahun, anak mampu menghasilkan kalimat perintah yang setara dengan kalimat perintah orang dewasa.

METODE PENELITIAN

Subjek Penelitian

Subjek kajian ini adalah seorang anak berusia dua tahun yang berasal dari kabupaten Bandung. Bahasa pertama yang diperoleh anak ini adalah bahasa Indonesia meskipun berasal dari daerah Sunda.

Pendekatan

Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan, antara lain sebagai berikut.

1. Observasi

Peneliti melakukan pengamatan terhadap subjek penelitian. Penelitian dilakukan beberapa hari, yaitu saat subjek penelitian berbicara dan berinteraksi dengan orang di sekitarnya.

2. Studi Pustaka

Untuk mendukung dan memudahkan penelitian, peneliti melakukan studi pustaka dari berbagai sumber pustaka.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada usia sekitar dua tahun, anak-anak mulai mengembangkan kata-kata tunggal menjadi ucapan dua kata, seperti “ingin susu” (seharusnya “aku ingin minum susu”). Ucapan ini merefleksikan suatu apresiasi pelaku, obyek, dan lokasi.

Pada awal tahap tuturan dua kata ini, tuturan anak cenderung bersifat telegrafis, yaitu hanya kata-kata penting saja yang disampaikan. Kata-kata yang fungsinya kecil dihilangkan.

Walaupun singkat, tuturan-tuturan ini mengungkapkan sebagian besar fungsi bahasa, seperti melokalisasi objek, dan menguraikan kejadian dan tindakan.

Beberapa tuturan dua kata ini dapat dilihat di tabel di bawah ini.

NO

FUNGSI TUTURAN

TUTURAN DUA KATA

1

Menyebutkan tempat dan nama

Mama Ati

Rumah Dede

2

Menyatakan keinginan

Makan kue

Minum susu

Dede pipis

Botol air

3

Menolak

Jangan buka

Bukan itu

4

Menggambarkan peristiwa, tindakan, atau situasi

Allah Akbar

Ibu pergi

Kakak tidur

Beli baso

5

Menunjukkan milik

Boneka Ani

Kamar Dede

6

Memberi sifat dan kualitas

Baju bagus

7

Bertanya

Ke mana?

Di mana?

Pada fungsi tuturan menyebutkan nama dan tempat, ada contoh dua kalimat yang diucapkan subjek penelitian, yaitu /mama ati/, dan /rumah dede/. Kata /mama ati/ adalah telegrafis dari kalimat “Mama saya bernama Ati”. Sedangkan pada kata /rumah dede/, maksud kata tersebut adalah “Ini adalah rumah milik Dede”.

Pada fungsi tuturan menyatakan keinginan, yaitu kata /makan kue/ yang berarti “aku ingin makan kue”, begitu juga pada kedua kata berikutnya /minum susu/yang berarti “aku ingin minum susu”, dan kata /dede pipis/ yang berarti “Dede ingin pipis”. Sedangkan pada kata /botol air/ yang dimaksud si subjek penelitian adalah dia ingin agar botol itu diisi oleh air.

Kata yang termasuk fungsi menolak adalah /jangan buka/ yan berarti “pintu itu jangan dibuka”,dan /bukan itu/ yang berarti baju yang dibawa ibunya bukan baju yang ingin dia pakai.

Pada fungsi tuturan menggambarkan peristiwa, kata /Allahu akbar/ diucapkan saat si subjek penelitian mendengar adzan yang berarti sudah saatnya melakukan shalat. Pada kata /ibu pergi/ berarti “Ibu sedang pergi”, /kakak tidur/ berarti “kakak sedang tidur”, dan kata /beli baso/ berarti “membeli baso”.

Fungsi tuturan menyatakan milik, kata /boneka ani/ berarti boneka milik Ani, kata /kamar dede/ berarti kamar milik dede.

Pada fungsi tuturan memberi sifat dan kualitas, kata /baju bagus/ berarti baju itu bagus, sedangkan pada fungsi tuturan bertanya, kata /ke mana/ dan /di mana/ bersifat menanyakan sesuatu pada lawan bicara.

KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita ketahui bahwa kemampuan bahasa mengikuti tahapan-tahapan tertetu. Seseorang tidak secara langsung dapat berbicara.

REKOMENDASI

Usia sebelum lima tahun merupakan masa emas, di mana seorang anak sedang mengalami tahapan kemampuan berbahasa. Karena itu, ia memerlukan stimulasi agar ia dapat bekerja seperti yang seharusnya. Anak memerlukan lingkungan yang mendukung selama masa emas kemampuan berbahasa.

REFERENSI

Atkinson, Rita L., Atkinson, Richard C. & Hilgard, Ernest R. 1983. Pengantar Psikologi. Jakarta : Erlangga.

Harras, Kholid A. & Andika Dutha Bachari. 2009. Dasar-Dasar Psikolinguistik. Bandung: UPI Press.

Hurlock, Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan “Suatu Pendekatan sepanjang Rentang Kehidupan”. Jakarta : Erlangga.