Senin, 01 Februari 2010

Penulis Perempuan, Sastra Wangi, dan Marginalitas

Pada jalannya sejarah sastra di Indonesia, para penulis perempuan seperti terlupakan eksistensinya. Pada Angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, dan Angkatan 1945 yang disebut sebagai angkatan pendobrak banyak didominasi oleh penulis kaum adam. Banyak penulis yang terkenal pada masa itu, seperti Marah Rusli, S.T. Alisyahbana, Chairil Anwar, dan lainnya. Saat itu ada juga beberapa penulis perempuan seperti.. Tapi keberadaan mereka dan karya-karyanya tidak terlalu direspon dengan baik oleh masyarakat. Bahkan mungkin banyak orang yang tidak mengenal mereka.
Baru pada tahun 60-an mulai bermuncuanl penulis perempuan yang dikenal masyarakat luas, misalnya N.H. Dini. Karya-karya Dini banyak disukai karena gaya penceritaannya yang halus dan mengalir. Tapi tetap saja karya-karya yang paling dominan saat itu adalah karya-karya dari penulis laki-laki.
Periode Pasca Reformasi terjadi ledakan produksi di bidang sastra. Hal tersebut dipicu oleh terbitnya Saman karya Ayu Utami. Sejak Saman mendapat Penghargaan Sastra Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1998, Ayu kerap dipandang sebagai pembuka jalan kaum perempuan dalam mengembangkan bakat dan kreatifitas tulis-menulis. Ia juga disebut sebagai pelopor gaya penulisan perempuan yang secara eksplisit melukiskan seks dan seksualitas yang selama ini dianggap tabu. Ayu mempopulerkan seks dari sudut pandang perempuan yang selama ini merupakan otoritas kaum laki-laki. Jika para penulis laki-laki masih memakai metafora untuk mengungkapkan alat-alat reproduksi manusia dan aktivitas seks, Ayu justru melakukan revolusi; menabrak tabu seks dengan menulis istilah-istilah itu secara langsung dan jelas.
Selain Ayu, muncul juga penulis lainnya seperti Djenar Maesa Ayu dan Dinar Rahayu yang bahkan lebih ‘berani’ dibanding Ayu. Djenar terkenal dengan karyanya ‘Nayla’ dan Dinar dengan ‘Ode untuk Leopold von Sacher-Masoch’. Meskipun bukan menjadi tema utama tapi seks dijelaskan secara eksplisit dalam karya mereka. Hal tersebut mengusik sebagian pembaca tetapi di sisi lain banyak mendapat pujian oleh berbagai kalangan dan sangat fenomenal di masyarakat.
Merebaknya karya-karya penulis perempuan yang berbau seksualitas memunculkan istilah ‘sastra wangi’. Sastra wangi bukanlah sebuah genre sastra, tapi merupakan penamaan atau sebutan bagi penulis perempuan semisal Ayu, Djenar, dan Dinar. Istilah sastra wangi sendiri memiliki konotasi negatif. Para penulis perempuan yang masuk golongan penulis sastra wangi tidak memiliki latar belakang sebagai penulis. Kebanyakan di antara mereka berasal dari kalangan selebritas. Karya-karya penulis sastra wangi umumnya berisi masalah seksualitas, glamouritas, sensasi serta menceritakan gaya hidup dan keseharian mereka sebagai selebriti. Hal itu pula yang menjadi salah satu komoditi dan nilai jual dari karya-karya mereka.
Munculnya istilah sastra wangi sendiri bukanlah berasal dari kalangan sastrawan atau kritikus sastra, melainkan berasal dari Fazrul Rahman, seorang presenter infotaiment. Awal penggunaan istilah sastra wangi hanyanya sebagai atribut negatif, tetapi kemudian media terus menggunakan istilah ini sebagai citra dan untuk menaikkan nilai penjualan. Meskipun para penulis sastra wangi ini selalu dipandang negatif oleh sebagian masyarakat, harus kita akui eksistensi mereka menambah marak dunia sastra Indonesia sehingga lebih bervariatif dan memunculkan satu inovasi baru.
Fenomenalnya penulis dan karya-karya sastra wangi menyebabkan sejumlah penulis perempuan menjadi agak terpinggirkan. Beberapa penulis ini di antaranya adalah Nukila Amal, Linda Christanty, dan Intan Paramaditha. Nukila sempat mendapat sorotan saat penerbitan novel perdananya, Cala Ibi (2003). Novel ini termasuk salah satu dari lima besar yang dinomimasikan untuk meraih Khatulstiwa Literary Award 2002-2003. Sedangkan Linda terkenal dengan kumpulan cerpen perdananya, Kuda Terbang Maria Pinto (2004) dan berhasil meraih Penghargaan Sastra Khatulistiwa pada tahun 2004. Bahkan Intan mendapat pujian dari beberapa kritikus terkemuka saat menerbitkan kumpulan cerpen pertamanya yang berjudul Sihir Perempuan (2004).
Tetapi semua penghargaan itu tidak membuat pembaca lantas memalingkan mata ke tiga penulis ini. Karya-karya mereka memang tidak mengikuti ‘arus’ yang sedang tren dengan masalah seksualitas sehingga menjadi tidak popular dan termarginalkan. Marginalitas tersebut adalah posisi yang tak hanya disorongkan kepada mereka, melainkan pilihan bagi mereka.
Sementara itu, Linda memutuskan untuk tetap menulis dengan caranya sendiri. “Saya menulis apa yang menurut saya penting dan mempunyai dampak besar, seperti masalah Hak Asasi Manusia, perang, dan kaum yang tertindas,” jelas Linda saat ditanya mengenai ruang marginalitas.
Menurut Linda, fenomenalnya suatu karya sastra di masyarakat luas tidak hanya menyangkut isi karya tersebut. Jaringan dan koneksi serta keberuntungan juga mempengaruhi terkenalnya seorang penulis dan karyanya. Suatu karya tidak akan luput dari kepentingan industri.
Pada tahun 2004, sebenarnya muncul arus besar dalam dunia sastra di Indonesia. Saat itu, banyak karya yang tidak melulu membahas seksualitas. Banyak karya yang muncul membahas tema yang lebih beragam, seperti masalah politik, jurnalisme, hak asasi manusia, agama, dan lainnya. Karena itu, penulis perempuan tidak selalu identik dengan Sastra Wangi. Sekarang banyak ruang terbuka untuk mengembangkan bakat dan kreatifitas menulis bagi penulis perempuan Indonesia.